Minggu, 05 Oktober 2014

Dirgahayu TNI Ke 69 : Patriot Sejati, Profesional dan Dicintai Rakyat.

Selamat Hari Ulang Tahun TNI
smkyp17-2mlg.blogspot.com
Hari ini, 5 Oktober 2014, Tentara Nasional Indonesia (TNI) merayakan hari ulang tahunnya yang ke-69. Sebuah spanduk terpampang di pertigaan jalan, bertuliskan: Rakyat-TNI Bersatu Pasti Kuat.
Kata-kata ini memang salah satu yang bermakna, di tengah tebaran berbagai slogan dan jargon yang meramaikan sudut-sudut ibukota sejak serentetan pemilu baru-baru ini.

Sebagaimana kelahirannya 69 tahun yang lalu, TNI memang sebuah “tentara rakyat;” lahir dari rakyat, berjuang bersama rakyat, demi kemerdekaan seluruh rakyat Bangsa Indonesia.
Setelah 69 tahun berselang, apa makna bersatunya rakyat-TNI? Khususnya sepanjang Orde Baru, kemanunggalan rakyat-TNI integral dalam doktrin Dwifungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. (ABRI) Sebagai salah satu komponen strategis bangsa, ABRI menjalankan tidak saja pendekatan keamanan tetapi juga kesejahteraan sebagai sumbangsihnya bagi Pembangunan Nasional. Hal ini nyata, misalnya, dalam kegiatan ABRI Masuk Desa, (AMD) di mana prajurit ABRI dan rakyat setempat bahu-membahu membangun berbagai sarana dan prasarana. Akan tetapi, Dwi Fungsi ABRI tenggelam ke dalam senja sejarah setelah Orde Baru tumbang.

TNI Mendukung Suara Rakyat?
Setelah 15 tahun berdemokrasi, TNI ternyata masih merupakan kekuatan politik yang selalu diperhitungkan di Republik ini. Terlebih dengan menajamnya polemik politik di ruang publik belakangan ini, suara-suara yang mengharapkan TNI melakoni peran sosial politiknya masih saja terdengar. Banyak petinggi TNI pun tampak tidak mampu menahan diri untuk tidak terseret arus politik praktis, meski TNI sebagai institusi menurut hukum masih harus netral. Peran sosial politik TNI dalam suasana demokrasi liberal pun kiranya mendapatkan ujian terberatnya baru-baru ini dalam Pemilu Presiden 2014.

Bagaimana TNI seharusnya membawa diri? Tepatkah bila TNI, agar demokratis, sekadar menyejajarkan aspirasi politiknya dengan suara rakyat mayoritas? Sungguh bukan ujian yang mudah, ketika “suara rakyat” dalam alam demokrasi liberal ultramodern ini bagaimanapun sangat ditentukan oleh akses pada media. Siapa yang paling pandai memanfaatkan berbagai media dan strategi komunikasi dan informasi, dialah yang akan menangguk suara terbanyak. Jika demikian, amat riskan jika kenetralan TNI sekadar diartikan sebagai dukungan pasif yang otomatis atas apapun dan siapapun yang menjadi pilihan rakyat terbanyak.

Rakyat-TNI Senasib-sepenanggungan
Jika bukan dukungan otomatis TNI pada suara rakyat, bagaimana memaknai manunggalnya rakyat-TNI dewasa ini? Hiruk-pikuk demokrasi nyatanya melenakan kita dari kenyataan bahwa kemiskinan, sekurangnya kesenjangan sosial, masih merupakan pemandangan umum di seluruh Indonesia. TNI sebagai salah satu kekuatan sosial politik yang ternyata masih dominan jelas dapat melakukan sesuatu terhadapnya. Lagipula tidak perlu jauh-jauh, ketika kesejahteraan prajurit terutama dari pangkat-pangkat terendah nyatanya masih terus menjadi permasalahan. Dalam hal inilah kenyataannya rakyat dan TNI manunggal, sama-sama merasakan sulitnya hidup di negeri sendiri.

Oleh karena itu, dapatlah kiranya perwira-perwira TNI patriot bangsa terketuk hati nuraninya untuk sekadar meringankan penderitaan rakyat. Jika belum mampu bertindak nyata, sekurangnya janganlah ikut menyakiti hati rakyat dengan bergaya hidup berlebihan; tidak peka pada kesulitan hidup kebanyakan rakyat Indonesia, bahkan anggota-anggota sendiri. Perwira TNI hendaknya mampu menjadi teladan dalam hal hidup sederhana, di tengah kehidupan bangsa yang kini miskin keteladanan. Jika ini dapat terwujud, rakyat tentu semakin mencintai TNI sebagai anak kandungnya sendiri, sebagai satu-satunya tumpuan harapan pelipur lara ibu pertiwi, yang masih saja dirundung sedih menyaksikan anak-anak negeri hidup sulit justru di negeri sendiri.

Dirgahayu TNI!

Sumber:
Artikel : Bono B. P. - Kompasiana
Foto : Merdeka


Tidak ada komentar:

Posting Komentar